Pendidikan Mahal vs Kesejahteraan Guru
Tanggal 14 Mei 2014, ketika di kantor saya mendapat telepon dari anak kedua saya. Dia memberitahukan bahwa gurunya di TK B dirawat di rumah sakit karena tiba-tiba jatuh pingsan di rumahnya dan mengajak saya untuk membesuknya besok. Kebetulan besok adalah hari libur nasional.
Informasi yang saya terima dari istri saya, si ibu guru dalam usia 51 tahun ini mengidap penyakit diabetes dan darah tinggi.
Besoknya, sesuai dengan janji kepada anak saya, pagi hari kami sekeluarga sudah bersiap-siap berangkat ke rumah sakit untuk membesuk guru tersebut. Namun, Allah berkehendak lain, kabar duka kami terima, bahwa si Ibu Guru ini telah berpulang ke Allah SWT.
Anak saya langsung menangis sedih begitu diberitahukan bahwa ibu gurunya sudah meninggal dunia.
Akhirnya saya hibur anak saya, saya katakan bahwa Allah sayang dengan ibu gurunya sehingga Allah tidak mau Ibu gurunya menderita sakit lama-lama di dunia.
Saya katakan agar dia mendoakan agar ibu gurunya mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT dan dilapangkan kuburnya serta diampuni semua dosa-dosanya.
Akhirnya, kami pergi melayat ke rumah duka di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Sesampainya di rumah duka, kami melihat potret kehidupan kebanyakan guru-guru di Indonesia, sederhana, bahkan lebih tepatnya pas-pasan.
Dengan kondisi hidup seperti itu, bagaimana kita mau menuntut seorang guru untuk mendidik anak didiknya menjadi manusia yang “sempurna” dari sisi akademis dan akhlak.
Seringkali kita menyalahkan guru apabila anak kita lamban dalam memahami pelajaran.
Dengan kondisi kesejahteraan guru yang rendah seperti ini, bagaimana mungkin kita mau berbicara mengenai pendidikan karakter bangsa apalagi istilah salah seorang capres kita "Revolusi Mental". Karena kebutuhan dasar dari seorang guru saja masih jauh dari kata tercukupi. Jika seseorang guru untuk urusan perutnya saja masih kekurangan, bagaimana dia bisa mendidik anak muridnya dengan tenang.
Ironis memang, melihat kenyataan bahwa saat ini pendidikan di Indonesia sangatlah mahal. Untuk masuk ke sebuah sekolah yang memiliki standar baik, orang harus membayar sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, tanpa jaminan bahwa anak kita akan mendapat pendidikan akademis dan karakter yang baik. Yang membadakan antara sekolah satu dengan yang lain hanyalah fasilitas dan pergaulan saja.
Namun, terbalik dengan kehidupan para guru yang ternyata mereka masih harus mengajar di bimbel, memberikan les privat demi tambahan untuk biayai hidup mereka.
Kemana biaya berjuta-juta yang dibayarkan oleh orang tua siswa. Ternyata yang sejahtera adalah para pemilik yayasan, pemegang saham dari sekolah-sekolah tersebut.
Inilah Pekerjaan Rumah bagi para calon presiden Indonesia.
Kesejahteraan para pendidik harus jadi perhatian jika kita menginginkan anak-anak bangsa ini menjadi manusia yang memiliki karakter. Pendidikan karakter, pendidikan akhlak, jangan sampai generasi muda bangsa ini, menjadi orang-orang yang tidak punya karakter, tidak menghargai produk dalam negerinya, dan menjadi warga Negara yang egois, yang pada akhirnya akan menjual aset negara ini untuk keuntungan pribadi.
No comments:
Post a Comment